Minggu, 25 Maret 2012

PELANGI TAK BERWARNA (part 2)


Walau pagi ini dipulau dimana tempat ayah mencari nafkan telah di guyur hujan. Baju ku pun tak urung basah kuyup tapi tak menurunkan tekadku untuk menemui ayah.
Banyak orang melihatku dengan nista, seakan aku tak layak untuk hidup. Perih rasanya dibandingan rasa sakit diperut yang tak menemukan makanan sudah dua hari lamanya.
Ayah dimana kau tinggal, walu pulau ini kecil ukuranya tapi tetap saja aku harus mencarimu di sebelah mana.
Kaki kecil yang tinggal tulang yang terbungkus kulit kering terus saja melangkahkan kakinya menyusuri setiap ploksok di pulau ini. Tak ada sedikit pun rasa untuk mengeluh karena satu tekad ku, aku harus seceptnya menemui ayah sebelum semuanya terlambat.
                Tak terasa setengah hari ku susuri pulau ini setengah dari luasnya sudah aku jelajahi. Namun belum sediit pun tanda-tanda ayah tinggal di tempat ini  ya Alloh harus kemana lagi aku mencari ayah.
Baju yang basah pun kini sudah kering kembali malah beberapa kali basah kembali oleh keringat yang mengucur.
“nak, sepertinya aku baru melihatmu di pulau ini. Kau berasal darimana?... muka mu pucat sekali?..”tanya seorang wanita tua yang sibuk menenteng beberapa kantong plastic besar.
“iea nek aku bukan warga sini, aku kesini ingin mencari ayah...”
“pantas saja, ayah mu memang kerja apa dipulau ini”
“aku pun tak tahu nenk,,”
“lantas kau sudah bertemu dengan nya?...”
Belum sempat ku jawab pertanyaan nenek itu aku pun tergeletak lemas dipinggir jalan Sontak nenek itu pun kaget di buatnnya. Entah apa yang terjadi saat aku pingsan tadi, yang kini aku tahu saat mata ku terbuka aku ada di sebuah sofa mewah nan empuk.
“akhirnya kau siuman juga”..
“saya dimana?..”
“kau dirumah ku anak muda, ayo makan dulu cream soupnya dan jus buah itu agar kau cepat pulih”...
Sungguh nenek yang baik hati, padahal baru pertama kali bertemu tapi dia baik pada ku.
                Aku pun ceritakan apa yang menjadi kisah dihidupku bersama keluargaku dn kenapa sampai aku ada di tempat ini. Nenek pun bersedia untuk membantu ku untuk mencari ayah di pulau ini.
Malam pun tiba namun tubuh kurus ini belum pulih benar tuk melanjutkan mencari ayah. Akhirnya aku putuskan untuk menerima tawaran nenek yang belum aku tahu namanya itu tuk menginap di rumahnya yang mewah. Tak banyak orang ku temui di rumah ini. Hanya seorang wanita setengah baya yang mondar mandir kesekeliling di sekeliling rumah.
                Pagi pun tiba, wangi apa yang menusuk hidung ku. Emzzz dari wanginya seperti suatu hidangan yang hangat dan lezat. Mata ku pun terbuka karena silau terkena sinar matahari di pagi ini.
“bangunlah nak, aku sudah siapkan secangkir coklat hanta dan roti panggang isi keju” sapa wanita setengah baya itu sambil mengelus kepalauku dengan lembut.
“ibu siapa?..”
“aku meliana, putrid omah Linda yang menolongmu kemarin”...
Warna kulit mereka sangat lah jauh berbeda dengan ku, aku hita sedangkan mereka putih dan tubuh mereka tinggi.
Aku pun lekas bangun dari tempat tidur yang sangat-sangat nyaman itu, ku bersihkan tubuhku yang uh... bau tujuh rupa.
Ibu.Meliana mengajakku pergi mencari ayah dengan menggunakan sepeda miliknya. Karena di tempat ini tidak ada kendaraan bermotor sama sekali. Ya ada pun angkutan umum yaitu andong, kereta kayu yang di gerakan oleh dua roda dan seekor atau dua ekor kuda.
Sambil ku kayuh sepeda pinjaman dari ibu.meliana ku tengokan kepalaku kekanan dan kekiri tuk mencari ayah. Beberapa kali ibu.Meliana mengejek tingkah  polahku yang seperti burung peliharaannya di rumah yang selalu tengok kekanan tengok ke kiri.
Dua sosok wanita yang baik hati, entah apa yang harus aku berikan sebagai balas budi ku pada kedua wanita hebat ini.
                Sayup-sayup ku dengan suara yang tak asing rasanya ditelainga...
Suara yang sedang mengobrol sambil tertawa terbahak-bahak disebuah rumah makan. Aku terus berusaha meyakinkan suara siapa itu sambil aku hampiri sumber suara itu.
Ku lihat sosok pria yang aku rindukan selama ini sedang asik mengobrol bersama beberapa kawannya. Aku hampiri dia dan kusapa dia, didalam benakku dia akan memelukku dengan penuh kerinduan dan kasih sayang. Tapi apa mau dikata, dia tak sedikitpun mengakui aku anaknya bahkan dia tega mengusir aku dan menyiram mukaku dengan minuman yang sudah ia minum. Yang lebih mengagetkan lagi, wanita disampingnya memanggilnya sayang.
“siapa dia ayah?”
“heh gembel, ada urusan apa kau tanya-tanya seperti itu kepadaku”
“hey manusia sombong, tak perlu kau begitu pada bocah malang ini. Andai dia itu adalah aku tak sudi rasanya aku memanggil lelaki yang tak bertanggung jawab tetap dipanggil ayah” bela ibu.Meilan
“hey wanita jalang tak usah kau ikut campur”
Sungguh aku menjadi marah dibuatnya, wanita yang begitu baik kepadaku dihina oleh ayahku sendiri. Sakit rasanya hati ini...
“cukup tuan yang kaya raya dan terhormat, maaf saya sudah salah orang. Terimakasih”
Dengan langkah yang gontai, aku kembali kerumah ibu.Meliana, beberapa kali aku jatuhkan air mata. Entah apa yang harus aku lakukan lagi dan jawaban apa yang harus aku berikan apada ibu nanti.
                Setibanya dirumah mewah itu, omah.Linda dan ibu.Meliana beberapa kali mencoba membantuku untuk tegar. Namun hancurnya hati ini terus saja membuat aku kian terpuruk. Aku putuskan untuk kembali kepulau dimana tempat aku dan keluarga ku tinggal. Terjangan ombak yang menghempas bebatuan seakan gambarkan hati ini yang kian hancur.
Tibalah aku dirumah, kulihat wajah ibu yang pucat karena penyakitnya kian parah belum juga ditambah rasa khawatir yang besar terhadapku yang pergi tanpa pesan.
“ibu tahu kau pergi kemana...!”
“maafkan aku ibu,,”
“sekarang kau sudah tahu mengapa dia melupakan kita disini...”
“jadi ibu,,,,”
“sudah lah, jadilah kau anak yang bisa membuat harkat martabat kita naik. Agar dia tahu dia tak penting untuk kita”
Kerinduan yang kini berubah menjadi kebencian yang teramat besar aku jadikan pemacu untuk menjadi apa yang ibu mau.
                Subuh itu tiba, subuh dimana menjadi subuh paling membuatku hancur dan terpuruk kian dalam. Ibu sang pelangi dihidup kami menghembuskan nafas terakhirnya. Tak banyak pesan terakhirnya, hanya saja aku harus menjadi seseorang yang bisa menggenggam dunia.
Kain kafan itu membungkus tubuhnya yang kurus, tanah merah itu kini menjadi pembaringan terakhirnya. Tuhan, satu yang aku minta... masukan ibu kesurgamu dan buat dia bahagia disisi mu tuhan....
Diatas pusara nya aku berjanji untuk mengabulkan apa yang ia inginkan dan dendam ini harus terbalas tanpa ampun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar