Kamis, 05 Januari 2012

Kisah Asmara Sang Dewi Malam

“Tak Tik Tuk Tik Tak Tik Tuk” suara sepatu kuda yang berjalan dengan lincahnya diiringi suara gemerincing  lonceng kecil yang di pasang di leher sang kuda hitam nan gagah. Suaranya sudah pasti aku dengar di setiap magrib dan subuh menjelang. Kereta andong nan gagah si pengatar para dewi-dewi malam yang cantik itu sangat ingin rasanya aku bisa menaikinya. Namun apalah daya ku si gadis desa yang bodoh dan keluargaku yang masih kolot sepertinya akan sulit mengijinkanku tuk merasakan kenikmatan menjadi seorang dewi malam. Hanya satu  Tekadku  yaitu aku ingin membuat keluargaku sejahtera.  Diam-diam di kesunyian malam aku suka mengendap-ngendap keluar rumah untuk melihat pertunjukan para dewi malam. Aku tak pergi sendiri, jujur aku masih takut karena itu aku selalu diantar kang.Darma. Dalam lubuk hati terdalamku aku akui, aku sangat suka sekali bernyanyi dan menari. Terkadang aku sampai tak sadar sambil mengerjakan pekerjaan rumah aku sambil ngahariring...
“ euleuh-euleuh eta anak ema... “ledek ema di depan hau(tungku masak dari tanah liat)
Aku pun jadi tersenyum malu pada ema.
“neng, andaikan kehidupan kita tidak seperti ini. Pagi makan sore mungkin tidak atau sebaliknya. Mugkin saja keadaan kita tidak seperti ini. Bukan ema atau abah tidak mau membuat kamu dan keempat adikmu sejahtera tapi apalah daya... maafkan kami anak-anakku”  sambil ia usap air mata yang mulai menggenagi bibir matanya.
Aku pun terharu dan tak bisa menahan dan membendung air mataku lagi saat ku mendengar keluh kesah ema. Sungguh aku ingin melepaskan keluargaku dari belenggu kemiskinan ini.
“ya tuhan... aku harus berbuat apa untuk membantu keluargaku agar bisa terlepas dan terbebas dari belenggu kemiskinan ini”lirih doa terus menyayat relung hati terdalam ku
                Hingga satu pagi saat aku menyapu dihalaman rumah, aku pun sambil ngahariring di iringi suara gesrekan sapu, kicauan burung dan suara ayam yang menyambut pagi. Tak kusangka seorang dewi malam mendengarkan aku bernyanyi.
“punten...”sapa seorang dewi malam
“mangga teh, punten aya naonnya sinantenen...”jawabku dengan penuh tanya
“abdi Lilis, punten sareng saha ieu?
“abdi suranti teh...:
“bade ngiring moal jadi sinden jaipong, soalnya suara si eneng sae terus parasna geulis” ujar teh.Lilis sambil membuka gelungan rambutku
“punten teh sanes nolak rejeki,tapi pun ema sareng pun abah kirang satuju”
Teh.Lilis tidak marah saat ku tolak, hanya memberikan ku waktu untuk berpikir. Dia pun berkata akan datang dua hari lagi untuk meminta jawaban padaku.

Aku pun langsung bergegas mencari ema dan abah sepulangnya teh.Lilis, aku menceritakan pertemuanku dengan teh.Lilis. ku coba merayu ema dan abah yang tidak setuju aku menjadi seorang dewi malam. Yang pergi saat magrib datang dan pulang saat subuh menjelang. Pastiny suara-suara miring pergunjingan tetangga nantinya akan datang bertaburan pada keluarga ku. Tapi aku tetap kekeuh meyakinkan keluargaku kalau aku tidak akan ikut terjerumus pada pergaulan bebas sang dewi malam. Akhirnya mereka pun menyetujui aku menjadi seorang dewi malam karena tujuanku hanya ingin merubah keadaan ekonomi keluarga ku. Namun ada satu syarat dari kedua orang tuaku yaitu aku harus pergi ditemani kang.Darma. dia memang sosok pria yang sangat bertanggung jawab dan tangguh. Rumah kami berdekatan sehingga Kang.Darma pun menjadi  teman ku dari sejak kecil dulu. Kedekatan kami pun sudah sangat dekat seperti adik dan kakak, sehingga tak ada rasa canggung lagi di antara kami berdua.
Dua hari pun telah berlalu, teh.Lilis pun menepati janjinya datang lagi kerumahku. Aku pun langsung mengiyakan ajakannnya menjadi seorang dewi malam. Dengan persyaratan yang orang tua ku berikan, teh.Lilis pun setuju.
Sore pun tiba kereta andong milik teh.Lilis pun datang menjemput ku untuk pergi tampil di dusun tetangga. Salah seorang tuan tanah akan menikahkan putrinya dan beliau pun menggunakan grup jaipong dari teh.Lilis. Aku pun dirias olehnya, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sampai-sampai aku sendiri pun tidak mengenali diriku sendiri.
Malam pun tiba, ini memang pengalaman pertama yang membuat seluruh tubuhku bergetar gugup. Tapi dengan sigapnya te.Lilis mendampingi ku dalam bernyanyi dan menari. Dari kejauhan kang.darma terus saja memperhatikanku. Sangat terlihat jelas wajahnya penuh dengan rasa cemas dan kawatir. Memang dunia malam bukan lah dunia yang semudah membalikan telapak tanggan. Banyak hal yang harus diwaspadai banyak hal yang harus dipertimbangkan kembali. Salah-salah nanti kita akan terjerumus pada hal-hal yang membuat kita merugi. Teh.Lilis adalah sosok contoh dari sekian banyak dewi malam yang masih mempertaankan kehormatannya demi satu hari yang membaagiakan buatnya saat ia bersanding dengan kang.sudir. sungguh luar biasa pertahanaan diri yang di miliki teh.Lilis  terhadap berjuta-juta rayuan maut keindahan duniawi.
                Kian hari aku pun kian lihay dalam menari dan bernyanyi, bersolek pun kini aku bisa lakukan sendiri. Tapi yang paling membuat aku bahagia, keadaan ekonomi keluarga ku menjadi berubah derastis. Tak ada lagi yang namanya kelaparan ataupun makan nasi dari ketela. Kini kami bisa makan dengan ikan, walau pun masih dengan  ikan asin. Tapi semua itu membuat aku bahagia dan merasa tidak sia-sia. Begitu juga dengan kang.darma sekarang sudah bisa aku belikan andong walau pun masih belum lunas, tapi aku yakin semuanya akan berjalan dengan baik.
“neng, akang ingin bilang sesuatu sama eneng?” ujar kang.Darma sambil memandikan si barong, kuda hitam yang baru tiga bulan kami miliki
“sok aja atuh kang, kaya yang baru kenal aja sama Ranti” jawabku sambil ku anyam daun pisang untuk dijadikan alas makan siang kami
“sejujurnya akang menyayangi eneng lewih ti adik lanceuk?”
“maksud akang? Akang bogoh ka Ranti...”
“muhun neng, ya kaputusan mah aya di eneng!”
“kumahanya kang, sejujurnya Ranti juga menyayangi akang tapikan kedua orang tua akang tidak suka dengan Ranti. Ya.. karna Ranti seorang sinden jaipong. Keluar malam pulang pagi”
“tapi kan mereka tidak tahu bagaimana eneng bekerja”
Aku pun hanya bisa terdiam, sulit untuk ku menjawab aku juga sangat mencintainya. Karena aku tak  ingin melihat kang.Darma harus ribut dengan orang tuanya hanya karena aku seorang sinden jaipong. Tapi kang.Darma terus menerus meyakinkan orang tunya dan meyakinkan aku agar kami bisa bersama. Jujur ini adalah hal tersulit yang harus aku putuskan di usia ku masih enam belas tahun.
                Malam-malamku kian ramai, makin banyak orang yang datang ke setiap pentas ku dan teh.Lilis. alhamdulilah penghasilan kami pun bertambah jauh lebih banyak dan penggemaar kami berdua pun kian hari kian bertambah. Sampai-sampai yang biasanya sinden jaipong hanya di panggil pada malam hari saja kini siang pun banyak yang menggunakan jasa hiburan dari kami.
“apa aku bilang Ranti, kau akan membawa kami semua ke titik yang jauh lebih baik dari segi penghasilan”ujar teh.Lilis sambil menghapus gincu yang menghiasi bibirnya
“ah... teteh mah bisa saja”
“benar itu Ranti, kehidupan kami jadi jauh lebih layak”sahut pak.dadang dari balik kelambu warna jingga yang membatasi antara ruang para dewi malam dengan ruang para pemain alat musik
“bukan begitu pak, ini semua rejeki buat kita semua. Mudah-mudahan ini semua bisa berkah dan manjang... “amin”
“baru segitu aja udah dibangga-banggain, aku jelas-jelas bikin grup ini maju dari tujuh tahun yang lalu kalian gak pernah ngucapin terima kasih atau apa ke padaku” teh.Mira meradang saat semua orang tertuju pada ku
Sungguh aku jadi merasa tidak enak dengan teh.Mira, dia memang paling dulu bergabung dengan grup ini dibanding  dengan teh.Lilis dan aku.
                Kang.Darma seseorang yang sangat aku cintai kini akan segera menikah dengan pilihan orang tuanya. Gadis beruntung itu bernama Teh.Nining, dia keponakan kepala dusun. Sungguh beruntung kang.Darma begitu juga Teh.Nining. Aku pun perlahan-lahan mulai mencoba melepaskan rasa yang sudah menusuk kedalam raga dan jiwa ku ini. Aku pun selalu menghindar dari kang.Darma yang masih saja memaksa aku tuk menikah dengannya sedangkan pernikahannya dengan  Teh.Nining tinggal  beberapa bulan lagi.
“Ya Alloh anu maha asih... abdi binggung ya Alloh kedah kumaha?”
Lirih hati di sepanjang malam di sepanjang perjalanan, aku rindu pada kang.Darma. Biasanya dia yang narik andongnya tapi sekarang jadi abah, rasanya sangatlah berbeda, aku kehilangan. Tapi mau gimana lagi, restu tak kunjung aku dapatkan. Aku pun merasa kasihan pada abah karena kini setiap malam harus mengantar dan menunggu aku pentas kesehatannya pun mulai terganggu.
“ya Robb.. kian hari kian dilema aku rasakan dalam hati ini. Haruskan bunga cinta ini harus gugur ke bumi dan berakhir sampai disni...”
Kang.Asep kini jadi sosok yang hadir di kehidupanku saat ini, dia seorang pengepul sayur-mayur warga dusun. Dia datang dari keluarga yang cukup kaya dan terhormat di dusunku. Aku bertemu dengannya ketika aku mengisi acara pemilihan dan pengukuhan kepala dusun yang lalu. Setelah kepala dusun yang lama meninggal, menurut kabar berita yang tersiar kepala dusun lama terkena santet. Tapi buat aku semua itu belum tentu pasti.
“neng akang.Asep bade ameng ka bumi, kenggeng teu?”
“ah ari abdi sih mangga wae ari bade amengan mah, tapi akang kedah nyarios heula ka abah”
“abah na palih mana?”jawab kanga.Asep sambil matanya mencari posisi abah ku
“abah ada di dalam andong”sambil ku tunjuk posisi abah saat itu
Kang.Asep pun langsung menghampiri abah dan minta izin untuk berkunjung kerumahhku dan melamarku. Jujur hingga saat ini detik ini aku belum bisa melupakan kang.Darma, aku masih dan akan tetap cinta sama kang.Darma.
Keesokan harinya kang.Asep datang ke rumahku beserta kedua orang tuannya dan saudara-saudaranya. Aku langsung di ajak menikah saat itu juga, tapi aku meminta waktu untuk saling mengenal terlebih dahulu. Mereka pun menerima permintaan ku ini, mereka memberikan waktu tiga bulan untuk kita saling menggenal. Kedua orang tua ku pun setuju dengan kang.Asep.
“Ranti, mendingan jangan sampai nunggu selama tiga bulan. Akhir bulan ini juga sudah bisakan untuk menikah”ujar ibu mengomentari apa yang jadi persyaratanku
“ah... ibu tidak seperti itu juga lah, biarkan dia memutuskan jalan hidupnya sendiri” balas abah di depan pintu dapur
“aku meminta waktu selama tiga bulan ini , karena aku belum tahu siapa dia?”
“cenah entos hoyong nikah? Ah ema mah udah setuju sama dia. Tapi kalau sama Darma ema gak setuju. Raheut na hate geus jero neng”
Perdebatan kecil itu pun berakhir jua di ujung senja yang memberikan warna kuning di langit. Menandakan aku harus segera beranjak pergi ke tempat pentas. Namun hari ini aku harus pergi dengan berjalan kaki terlebih dahulu ke rumah teh.Lilis untuk ikut serta ke tempat pentas. Tapi saat aku pergi ke rumah teh.Lilis aku bertemu dengan kang.Darma. kang.Darma malah mengajakku pergi entah aku pun tak tahu tujuan kita berdua pergi.
“kang kita teh mau kemana, ini sudah malam dan aku harus tampil pentas” ujarku sambil tanggan ku di genggamnya erat-erat hingga sakit aku rasakan
“tenang saja, aku tidak akan mencelakakan mu. Kau tahukan aku sangat menyayangi dirimu Ranti”
“aku tahu itu, tapi kita mau kemana?..”

Tiba-tiba hujan pun turun, aku dan kang.Darma pun panik mencari tempat untuk berteduh. Untung saja masih ada satu rumah kosong yang masih berdiri tegak dipinggir hutan. Seluruh tubuh pun basah kuyup, riasan wajahku pun luntur semuannya. Kang.Darma pun berusaha mencari sisa-sisa ranting kering yang masih bisa menyala untuk menghangatkan tubuh dan mengeringkan pakaian kami. Malam pun kian larut, hujan pun masih enggan pergi  sambaran petir pun terus mengiringi. Entah setan mana yang merasuki raga kami atau ini yang disebut kekuatan cinta yang di selimuti hawa nafsu. Kami berdua pun melakukan hubungan yang tak sepantasnya kami lakukan, semalaman suntuk kami bercumbu rayu. Habiskan malam penuh dengan gairah kehangatan dan aliran emosi, hingga setiap kecupannya membangkitkan gairah jiwa setiap sentuhannya membuat aku kian tak berdaya. Desah nafas kami pun melebur menjadi satu hingga rasa lelah lah yang mengalahkan kedasyatan malam itu..
                Pagi pun tiba, sadarku seluruh tubuhku suda telanjang bulat begitu juga dengan kang.Darma. aku hanya bisa menangisi apa yang sudah terjadi tadi malam. Sesal kian dalam aku tak bisa memaafkan diriku sendiri dan aku harus bagaimana dan berkata apa pada kang.Asep. pria yang sudah benar-benar mau menerima aku apa adanya, walau pun mereka tahu aku hanyalah seorang anak kampong yang miskin dan profesi sebagai sinden jaipong(dewi malam).
“kang kau sudah apa kan aku?..”tanyaku penuh amarah
“akang minta maaf neng, sungguh akang lepas kendali” jawab kang.Darma sambil menutup tubuhku dengan kain
“akang jahat. Akang udah ngehancurin masa depan aku”
“bukannya kau juga sangat mencintai aku? Lantas apa yang salah apa yang susah, kita tinggal menikah. Kalau kau kahil aku akan tanggung jawab”
“bukan itu yang jadi persoalannya kang, tapi pertanggungjawabannya nanti di akhirat, pada orang tua ku dan pada kang.Asep..”
“owh.. aku tahu sekarang kau lebih memilih si asep borokokok itu dari pada aku”
“akang....”teriakku sambil ku tampar wajahnya
Aku pun langsung bergegas pulang, setelah kejadian itu sungguh aku merasa terguncang. Rasanya malu untuk bertemu orang-orang disekitarku. Hingga sudah dua minggu aku tak datang manggung, teman-teman mentasku pun sampai berdatangan kerumah dan bertanya mengapa aku jadi seperti ini.
                Tiga bulan berlalu, aku coba bangkit kembali dari peristiwa yang sangat membebani ku itu. Seperti biasa kang.Darma masih saja keukeuh mengajak aku menikah, dan pikirankupun kian galau karena sudah tiga bulan ini aku tidak datang bulan. Aku putuskan pergi ke pakraji(dukun beranak) untuk minta pertolongannya memeriksa keadaan rahimku. Teh.Lilis dengan setianya mengantarkanku dan terus-menerus memberikan semangat.
“neng ieu mah tos jadi”
“maksudna mak? Abdi hamil kituh?”jawabku penuh khawatir
“sumuhun neng, teras ayeuna kumaha. Bade di urut wae di kaluarkeun “
“ya Alloh... kedah kumaa ieu....?”
“Ranti tika iraha ge budak ieu tong di gugurkeun, inget dosa na jadi dua kali lipet” saran Teh.Lilis sambil memelukku dengan erat
“tapi kang.Asep kumaha teh... pernikahan kita tinggal dua minggu lagi”
Aku pun langsung bergegas mencari kang.Darma, aku beritahukan dia tentang kehamilanku ini. Kang.Darma langsung menemui orang tuanya dan meminta untuk menikahi aku saat itu juga. Akhirnya orang tua kang.Darma mengiyakan keinginan kang darma untuk menikahi aku. Disisi lain aku pun memberitaukan kehamilan ku ini pada ema dan abah, ema langsung kaget dan terjatuh pingsan. Lunglay rasanya tubuh ini dengan semua kejadian ini,aba pun hanya bisa menagis. Diluaran sana kabar ini langsung tersebar luas, teh.Mira langsung menyebarluaskan tentang kehamilanku ini dan membuat cerita-cerita yang menjatuhkan nama ku. Hingga kang.Asep pun tau dan merasa geram. Aku di pukulinya hingga bibirku peca dan berdarah.
Dua hari kemudian aku resmi menikah dengan kang.Darma tanpa restu Ema dan abah ku. Sakit rasanya hati ini terasa sesak rasanya dada ini. Ema tidak hadir dalam pernikahan ku, sungguh menjadi beban tersendiri. Dan aku langsung dibawa pindah kedusun sebelah.
                Kegiatan aku sebagai sinden jaipong pun menjadi terbengkalai, karena kang.Darma tidak mengijinkan aku untuk pergi mentas lagi. Tapi tak apalah yang penting kang.Darma bisa bertanggung jawab padaku sepenuhnya. Namun sayang semua itu tidak ia lakukan, aku malah disakitinya. Karena dipikirannya aku masih mencintai kang.Asep. padahal dari awal aku tak pernah mencintai kang.Asep, sedikit pun aku tak mencintainya karena yang ada dihatiku dari awal adala kang.Darma.
“kang setiap malam akang kemana?”tanyaku penuh curiga, karena sudah satu bulan ini kang.Darma selalu pulang pagi, mulutnya bau minuman dan badannya bau minyak wangi perempuan
“ku naun sia nanya-nanya, kumaha aing we...”
“wajar kang, saya ini istri sah mu...”
“aku nikahi kamu karena terpaksa?”
“maksud akang apa? Bukannya akang yang sudah menodai aku, ingat kang kejadian malam itu sekarang perutku suda membuncit suda enam bulan usianya. Tapi akang malah berpikir seperti itu”
Sungguh aku kian tak mengerti apa yang ada di pikiran kang.Darma saat ini. Banyak orang yang memberi tau kepadaku kalu kang.darma selingkuh dengan teh.Mira. sakit rasanya hati ini, keadaan ku pun kian memburuk. Aku jadi sering sakit-sakitan, hidungku sering mengeluarkan darah. Sungguh sangat ironis kisah hidupku saat ini.
“ema aku kangeun kepadamu, aku ingin bertemu tapi setiap aku akan pergi kerumahmu kang.Darma selalu mencegahku. Tak jarang aku selalu dipukulinya ema. Ema ...... tulungan.....”
                Diam-diam aku kabur kerumah ema, saat aku berjalan aku memergoki kang.Darma sedang berduaan di warung teh.Irob. sungguh sakitnya hati ini, pada siapa lagi aku harus mengadu dan bersandar. Orang tua ku kalau tahu tentang masalah ini, mereka pasti akan kepikiran dan aku tidak mau itu terjadi. Aku putuskan untuk pergi keruh teh.Lilis, tapi sayang teh.Lilis sudah tidak tinggal di dusun ini lagi dia pindah kedusun sebrang. Lengkaplah penderitaanku, pada akhirnya aku putuskan pergi kerumah orang tua ku, ku tutupi semua yang sudah menimpaku. Karena aku tak mau membebani pikiran mereka. Sudah seminggu aku tinggal bersama orang tuaku, tapi kang.Darma tak kunjung datang untuk menjemputku pulang atau pun melihat keadaan ku sebentar saja.
“suamimu kemana Ranti”tanya abah
“mungkin kang.Darma masih sibuk dengan kerjaaan nya bah”
“ah masa sesibuk-sibuknya seorang suami suda seminggu di tinggal istrinya pasti dicari atau pun di tengoklah setidaknya”sahut ema yang sedang membuat sarung bantal untuk bayiku nanti
“sudah lah tak apa, oh iya mak... pakaian yang aku siapkan untuk si kecil disimpan dimana? Aku mau setrika?”
“udah teh biar sama aku saja”jawab adikku Rara
Kesehatanku pun kian hari kian semakin buruk, darah yang keluar dari hidung semakin sering keluar dan semakin banyak. Gerak si kecil didalam perut pun semakin jarang aku rasakan...
Aku harus tetap bertahan dari semua cobaan ini, tingal satu bulan lagi si kecil akan segera lahir kealam dunia. Bukan orangnya yang datang kepadaku malah kabar yang tidak mengenakkan lah yang menghampiriku. Kang.Darma menikah lagi dengan teh.Meri dan aku ditalaknya melalui adik sepupunya. Sungguh aku tak percaya dia bisa setega itu kepadaku, padahal aku ini wanita yang sangat dia cintai.
“kang.Darma ini kah balasan mu untuk ku yang suda mau berkorban dan selalu mempertahankan semua ini demi kamu tapi kamu malah menyakiti aku.”
Hari akhir itu ternyata tiba lebih awal sebelum semua permasalahan yang membelengguku terselesaikan dan anakku lahir. Mtaku tertutup rapat nafasku tak lagi berhembus detak jantung nadi dan aliran darahku terhenti. Saat aku terbangun, lorong tanah yang masih basahlah yang aku rasakan. Inikah yang disebut akhir dari hidup..?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar